namanya juga hidup, kan?

dhnherlangga
1 minute read
0

Ada masanya dalam hidupku ketika aku merasa terjebak dalam lorong gelap tanpa ujung. Langkahku berat, seperti mengarungi rawa-rawa yang penuh dengan duri. Aku juga mengalami masa sulit—begitu sulit hingga aku bertanya-tanya, apakah aku mampu bertahan? Tapi kemudian aku sadar, setiap orang punya kemalangannya sendiri. Mungkin bentuknya berbeda, mungkin lukanya tak terlihat, tapi aku tahu aku bukan satu-satunya yang sedang berjuang.

Dalam keterpurukan itu, aku mencoba mengingatkan diriku untuk bersyukur. Sulit, memang, karena syukur tak selalu hadir dalam bentuk keajaiban besar. Kadang ia tersembunyi di balik hal-hal sederhana: sejumput udara segar, pelukan hangat seseorang, atau sekadar keberanian untuk bangun dari tempat tidur. Aku berulang kali meyakinkan diriku bahwa masih ada hal baik di hidupku, meski saat itu tampak samar.

Ketika akhirnya aku mampu melewati masa-masa itu, ada rasa bangga yang muncul dalam hati. Aku melihat diriku di cermin dan berkata, “Aku berhasil melaluinya.” Tapi di balik kebanggaan itu, ada perasaan aneh yang tak bisa kuabaikan. Aku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar tangguh? Apakah aku kuat seperti yang kupikirkan?

Saat aku menoleh ke belakang, menyusuri kenangan masa-masa kelam itu, aku menyadari sebuah kebenaran. Aku bukan melaluinya karena tangguh. Tidak, aku bukan seperti batu karang yang tetap kokoh meski dihantam ombak ribuan kali. Aku melaluinya karena aku tidak pernah benar-benar tenggelam, meskipun berkali-kali aku hampir karam. Aku melaluinya karena, entah bagaimana, ada sesuatu dalam diriku yang terus berbisik, “Bertahanlah.”

Aku belajar bahwa hidup bukan tentang menjadi kuat setiap waktu. Kadang, hidup hanya tentang bertahan satu hari lagi, tentang berani berkata “aku baik-baik saja” meski hati remuk redam. Dan di saat-saat itulah, aku tahu bahwa bertahan sendiri adalah sebuah kemenangan kecil yang layak dirayakan.

Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)