Jatuh cinta di usia dua puluh lima itu… aneh, ya? Rasanya berat, rusuh, riuh, penuh rasa was-was, dan kadang membingungkan. Seenggaknya, itu yang aku rasakan.
Dulu, cinta terasa lebih sederhana. Datang begitu saja, tanpa banyak pertimbangan, tanpa perlu dihitung-hitung. Kita jatuh, dan membiarkan hati mengambil alih, seolah dunia ini cuma tentang dua orang yang saling menemukan. Tapi sekarang? Cinta terasa lebih rumit. Aku lebih banyak berpikir daripada sekadar membiarkan diri larut dalam perasaan. Aku sibuk mengukur risiko, menghitung kemungkinan, bertanya pada diri sendiri “Kalau nanti gagal gimana? Kalau nanti sakit hati lagi gimana?” Seakan-akan cinta harus selalu punya rencana cadangan, seakan-akan hati ini nggak boleh salah melangkah lagi.
Kadang aku bertanya, apa cuma aku yang merasa begini? Apa hanya aku yang merasa cinta di usia ini lebih banyak berisi ketakutan daripada keberanian? Apa yang dulu terasa ringan, kini terasa penuh pertimbangan. Apa yang dulu kita jalani dengan mata berbinar, kini terasa seperti jalan yang harus dipijak hati-hati. Kita takut melangkah terlalu jauh, takut memberi terlalu banyak, takut jatuh terlalu dalam. Kita sibuk mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, padahal bisa jadi, kali ini cinta hanya ingin kita menikmatinya.
Tapi… bukankah diam-diam kita merindukan cinta yang dulu? Yang lugu, polos, bodoh, dan begitu naif. Cinta yang nggak peduli seberapa buruk kemungkinan akhirnya. Cinta yang datang tanpa pertanyaan, tanpa ragu-ragu. Cinta yang jatuh begitu saja, tanpa peduli apa yang akan terjadi nanti. Cinta yang membuat kita tersenyum tanpa alasan, merasa cukup hanya dengan genggaman tangan, merasa aman hanya dengan kehadiran seseorang di sisi kita.
Mungkin, cinta itu masih ada. Mungkin, di balik semua perhitungan dan ketakutan ini, kita sebenarnya masih ingin mencintai dengan cara yang sama. Hanya saja, kita sudah terlalu dewasa untuk berpura-pura bahwa cinta tidak menyakitkan. Atau mungkin, kita hanya perlu sedikit keberanian untuk jatuh lagi, tanpa takut terluka.