Lagu itu, rasanya seperti memeluk hati yang lelah

dhnherlangga
2 minute read
0

 


Ada sore-sore yang terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena matahari, tapi karena kehadiran seseorang. Hari itu, di sebuah kedai kopi kecil, aku merasa waktu berjalan lebih lambat, seolah semesta sengaja memberi ruang untuk sesuatu yang spesial. Obrolan kami dimulai dengan santai, tapi entah bagaimana, rasanya selalu ada makna yang lebih dalam di balik setiap kata yang ia ucapkan.

Sore itu adalah tentang dia—dan keberanian kecil yang akhirnya aku kumpulkan.

Dia bilang, dia nggak percaya sama peribahasa "siapa menanam, dia akan menuai." Dengan senyum tipis di wajahnya, dia berkata, “Kehidupan itu nggak sesimpel itu. Kadang kita menanam dengan sepenuh hati, tapi hasilnya malah nggak sesuai. Atau lebih parah, yang menuai bukan kita.”

Aku cuma diam, mendengarkan, sambil pura-pura sibuk menyeruput kopi. Dia melanjutkan, “Aku dapet kesimpulan itu setelah denger lagu Membasuh dari Hindia sama Rara Sekar. Lagu itu... kayak ngajarin kalau nggak semua usaha harus dihitung dengan hasil. Kadang, menanam itu udah cukup.”

Kami duduk di sudut Otaku Coffee. Tempatnya kecil, tapi suasananya bikin nyaman. Aroma kopi bercampur dengan cahaya matahari sore yang masuk lewat jendela besar di dekat meja kami. Dia mengenakan baju kuning kehijauan yang sederhana namun terlihat begitu memikat di mataku. Aku sendiri cuma pakai kemeja hitam andalan—terlihat biasa, tapi rasanya nggak ada yang lebih cocok buat aku saat itu.

Obrolan kami ngalir begitu saja, dari hal remeh sampai yang bikin mikir. Kadang kami tertawa kecil, kadang ada jeda yang diisi dengan suara sendok mengaduk kopi. Tapi sore itu, aku lebih sibuk menghafal caranya tersenyum, caranya memiringkan kepala waktu bicara, dan caranya membuat segala sesuatu di sekitarnya terasa lebih hidup.

Lalu, di tengah percakapan itu, ada keberanian kecil yang akhirnya muncul. Aku mengumpulkan semua keberanian yang kupunya dan berkata, “Boleh nggak, kita foto bareng?”

Dia sempat terdiam, dan jantungku rasanya mau berhenti. Tapi lalu dia tersenyum—senyuman yang bikin waktu berhenti sebentar. “Boleh, kenapa nggak?” jawabnya.

Rasanya seperti memenangkan sesuatu, meskipun aku tahu itu hal sederhana. Kami berpose, kamera menangkap detik yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi luar biasa bagiku.

Sore itu berakhir dengan cara yang sederhana: matahari mulai tenggelam, kopi di cangkir hampir habis, dan kami saling mengucap selamat tinggal. Tapi di dalam hatiku, sore itu akan terus hidup. Foto yang kuambil menjadi lebih dari sekadar gambar—itu adalah pengingat bahwa ada momen-momen kecil yang punya makna besar.

Mungkin dia benar. Hidup memang nggak selalu soal hasil, dan apa yang kita tanam belum tentu kita yang menuai. Tapi di sore itu, aku merasa sudah menanam sesuatu—keberanian, kenangan, atau mungkin harapan. Dan siapa tahu, suatu hari nanti, hasilnya akan tumbuh dengan cara yang tak terduga.

Karena kadang, yang penting bukan apa yang kita tuai, tapi bagaimana kita berani mencoba. 🌻


Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)