Ada
sore-sore yang terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena matahari, tapi
karena kehadiran seseorang. Hari itu, di sebuah kedai kopi kecil, aku merasa
waktu berjalan lebih lambat, seolah semesta sengaja memberi ruang untuk sesuatu
yang spesial. Obrolan kami dimulai dengan santai, tapi entah bagaimana, rasanya
selalu ada makna yang lebih dalam di balik setiap kata yang ia ucapkan.
Sore itu
adalah tentang dia—dan keberanian kecil yang akhirnya aku kumpulkan.
Dia
bilang, dia nggak percaya sama peribahasa "siapa menanam, dia akan
menuai." Dengan senyum tipis di wajahnya, dia berkata, “Kehidupan itu
nggak sesimpel itu. Kadang kita menanam dengan sepenuh hati, tapi hasilnya
malah nggak sesuai. Atau lebih parah, yang menuai bukan kita.”
Aku cuma
diam, mendengarkan, sambil pura-pura sibuk menyeruput kopi. Dia melanjutkan,
“Aku dapet kesimpulan itu setelah denger lagu Membasuh dari Hindia sama
Rara Sekar. Lagu itu... kayak ngajarin kalau nggak semua usaha harus dihitung
dengan hasil. Kadang, menanam itu udah cukup.”
Kami
duduk di sudut Otaku Coffee. Tempatnya kecil, tapi suasananya
bikin nyaman. Aroma kopi bercampur dengan cahaya matahari sore yang masuk lewat
jendela besar di dekat meja kami. Dia mengenakan baju kuning kehijauan yang
sederhana namun terlihat begitu memikat di mataku. Aku sendiri cuma pakai kemeja hitam
andalan—terlihat biasa, tapi rasanya nggak ada yang lebih cocok buat aku saat
itu.
Obrolan
kami ngalir begitu saja, dari hal remeh sampai yang bikin mikir. Kadang kami
tertawa kecil, kadang ada jeda yang diisi dengan suara sendok mengaduk kopi.
Tapi sore itu, aku lebih sibuk menghafal caranya tersenyum, caranya memiringkan
kepala waktu bicara, dan caranya membuat segala sesuatu di sekitarnya terasa
lebih hidup.
Lalu, di
tengah percakapan itu, ada keberanian kecil yang akhirnya muncul. Aku
mengumpulkan semua keberanian yang kupunya dan berkata, “Boleh nggak, kita foto
bareng?”
Dia
sempat terdiam, dan jantungku rasanya mau berhenti. Tapi lalu dia
tersenyum—senyuman yang bikin waktu berhenti sebentar. “Boleh, kenapa nggak?”
jawabnya.
Rasanya
seperti memenangkan sesuatu, meskipun aku tahu itu hal sederhana. Kami berpose,
kamera menangkap detik yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi luar biasa
bagiku.
Sore itu
berakhir dengan cara yang sederhana: matahari mulai tenggelam, kopi di cangkir
hampir habis, dan kami saling mengucap selamat tinggal. Tapi di dalam hatiku,
sore itu akan terus hidup. Foto yang kuambil menjadi lebih dari sekadar
gambar—itu adalah pengingat bahwa ada momen-momen kecil yang punya makna besar.
Mungkin
dia benar. Hidup memang nggak selalu soal hasil, dan apa yang kita tanam belum
tentu kita yang menuai. Tapi di sore itu, aku merasa sudah menanam
sesuatu—keberanian, kenangan, atau mungkin harapan. Dan siapa tahu, suatu hari
nanti, hasilnya akan tumbuh dengan cara yang tak terduga.
Karena
kadang, yang penting bukan apa yang kita tuai, tapi bagaimana kita berani
mencoba. 🌻