Di antara kerumunan kota
yang sibuk, aku merayap di tengah-tengah langit-langit beton yang tinggi.
Bangunan-bangunan menjulang di sekitarku, menciptakan rintangan tak terlihat
yang memisahkan kita. Tapi dalam keheningan hati, satu kalimat terus menerpa
pikiranku: "Sejauh-jauhnya kita adalah, dekatku yang tak pernah kau
lihat."
Aku, seorang laki-laki
yang berjalan di bawah langit-langit penuh lampu neon, menyadari bahwa meskipun
kita mungkin berada dalam satu kota yang sama, kita adalah dua mata rantai yang
terpisah. Jalanan yang sibuk dan gemuruh kota hanya menambahkan kedalaman pada
makna kalimat itu. Kita mungkin berdekatan secara geografis, tetapi
keberadaanku tak pernah terlihat oleh matamu.
Seringkali, aku memandang
sekitar dengan harapan menemukan jejak langkahmu di antara orang-orang yang
lewat. Aku mencoba mencari bayangan wajahmu di wajah-wajah asing yang melintas
di sepanjang trotoar. Namun, setiap kali, pandanganku hanya bertemu dengan
kekosongan dan rasa sepi yang tak terucap.
Pesan-pesan singkat dan
panggilan telepon adalah jembatan yang menghubungkan dunia kita, tetapi
keheningan dunia nyata tetap menjadi teman setia. Aku bertanya-tanya apakah kau
pernah menyadari bahwa kita saling berbagi kota yang sama, meskipun kita
seperti dua arus sungai yang tak pernah bersentuhan.
Aku melangkah di bawah
cahaya kota yang gemerlap, mencoba menciptakan jejak langkah yang bisa kau
ikuti. Namun, takdir sepertinya menempatkan kita dalam dimensi yang terpisah,
di mana sejauh apapun kita merentang, kau tetap tak melihat dekatnya
keberadaanku.
Dalam kesendirian malam,
aku terus bertanya-tanya apakah ada cara untuk memecahkan batas-batas yang
memisahkan kita. Apakah ada cara untuk membuatmu melihat bahwa, meski sejauh
apapun kita terpisah, aku tetap berdiri di sini, menanti hari di mana
pandanganmu akan menemui diriku yang tak pernah kau lihat.